Setelah sekian bulan vakum dari blog,
akhirnya saya kembali dengan sebuah tulisan berjudul “Move On dari UGM.”
Postingan kali ini akan bercerita tentang pengalaman, perjuangan, kegalauan,
kegagalan sekaligus keberhasilan saya masuk perguruan tinggi negeri.
Yok ndang..
Sejak kecil, sejak saya masih
lugu dan unyu (TK maksudnya :3), ketika ditanya tentang cita-cita, dengan
mantap saya akan menjawab “guru”. Lalu kemudian, ketika saya berusia tanggung
(SMP), tepatnya di awal kelas tiga, saya pengin sekali masuk UGM. Padahal,
seperti pembaca tahu, UGM bukan tempat yang tepat untuk calon guru. Hal itulah
yang lantas membelokkan cita-cita saya.
Nah, SMA adalah masa di mana saya seharusnya memantapkan pilihan. Namun yang terjadi tidak demikian. Saya terus saja bimbang, terombang-ambing karena kehilangan cita-cita. Dengan pertimbangan kimia adalah pelajaran yang saya sukai, lantas pada saat pendaftaran SNMPTN 2014 saya masukkan pilihan 1. Teknik Kimia UGM, 2. Kimia UGM, 3. Teknik Kimia UNDIP.
Waktu itu pemikiran saya masih
idealis. Dalam arti begini. Saya ingin mencoba hal baru yang berbeda dari ortu
(ortu saya keduanya adalah tenaga pendidik), ingin mencoba jurusan yang
seleksi, kuliah, dan kerjanya susah (berat) dengan harapan, setelah lulus,
kemampuan saya diakui.
Namun, menjelang pengumuman hasil
SNMPTN, keraguan saya bertambah. Saya ini kan perempuan. Kecil, kurus pula.
Kalau seandainya saya lolos teknik kimia, bagaimana nanti kuliah saya? Apa iya
saya bisa bertahan di lingkungan teknik yang notabennya adalah jurusan laki-laki?
Lalu bagaimana pekerjaan ke depan? Mungkin peluang banyak, mungkin gaji
lumayan. Tapi sekali lagi, saya ini perempuan. Apa iya saya bisa bekerja di
bagian produksi pabrik, kumpul dengan mesin dan tangki besar, serta operator
yang sebagian besar adalah laki-laki?
Lalu Allah menjawab keraguan
saya. Tanggal 27 Mei, pukul 1 siang, saya mendapati warna merah di akun SNMPT N
milik saya. Ya, saya dinyatakan tidak lolos SNMPTN 2014. Pada awalnya sedih
memang, sampai nangis siang malam selama berhari-hari. UGMnya itu lho. Masak
nama saya sama sekali tidak terjaring? Padahal, kalau boleh saya katakan, nilai
saya lumayan, apalagi di mapel kimia. SMA saya juga bukan SMA ecek-ecek, bahkan
termasuk SMA terbaik di kabupaten tempat saya tinggal. Tapi beberapa hari kemudian
saya tersenyum dan bersyukur. Karena tadi itu. Karena saya ragu.
Ternyata, teman-teman saya yang
menggantungkan harapannya di teknik maupun MIPA UGM mengalami hal serupa. Hanya
1 anak yang berhasil lolos. Padahal, jumlah yang diterima tahun lalu masih
cukup banyak. Entah kenapa tahun ini bisa seperti itu. Faktor putra daerah kah?
Nama sekolah kah? Prestasi kah? Atau mungkin ada faktor lain?
Oh ya, sebagai gantinya, saya
diterima di salah satu Politeknik Negeri, D4 Komputerisasi Akuntansi. Dengan
pertimbangan tersebut dan alasan yang telah saya utarakan di atas, pada saat
SBMPTN, saya banting stir dari jurusan IPA ke jurusan IPS. (Perlu pembaca tahu,
dulunya saya adalah anak IPA sejati. Iya, bener. Rajin mengerjakan peer,
belajar setiap malam, baca ini baca itu, nulis ini nulis itu, tas sekolah juga
selalu berat karena penuh buku, disiplin, pemikir keras, dan sifat-sifat lain
yang IPA banget pokoknya).
Selain itu, ada yang berubah
dalam pola pikir saya. Yang dulunya idealis, berubah menjadi realistis. Saya
sudah tidak pengin lagi kuliah di jurusan yang pelajarannya berat, ketika
bekerja juga berat. Cukuplah yang relatif mudah, baik ketika kuliah maupun
bekerja.
Pilihan pertama masih saya
gantungkan di UGM, Akuntansi. (alamaak, ini jurusan bertaraf internasional.
Bisa dibayangkan seketat apa seleksinya)
Pilihan kedua, ini yang membuat
saya bingung. Kemudian saya manut orang tua, memilih jurusan keguruan di UNNES,
Pendidikan Bahasa Inggris.
Pilihan ketiga, Fisika UNNES. Ehem,
ini cuma untuk jaga-jaga seandainya saya tidak lolos di pilihan pertama maupun
kedua. Saya kan waktu itu statusnya sudah menjadi mahasiswi salah satu PTS di
Jateng, diterima lewat jalur undangan, sudah saya bayarkan sekian juta rupiah,
tapi pengin mundur. Nah, PTS tersebut menawakan sistem pengembalian dana
sebesar 75% dari total yang dibayarkan untuk mahasiswa yang lolos SNMPTN atau
SBMPTN. Jadi kalau saya lolos di pilihan ketiga ini, saya akan gunakan bukti
lolos SBM untuk mengambil uang di PTS tersebut lalu masuk Politeknik.
Oke, kembali ke SBMPTN.
Dari ketiga pilihan di atas, bisa
disimpulkan kalau saya mengambil program IPC. Jadi, dari yang basisnya IPA,
saya pontang-panting belajar materi IPS. 4 sekaligus. Sejarah, ekonomi,
geografi, sosiologi hanya dalam waktu 10 hari. Padahal soal SBM adalah
soal-soal lanjutan, bukan untuk level pemula. Berat. Sulit. Tapi saya tak boleh
berlama-lama mengeluh. Itu tantangan. 10 hari yang menentukan periode kehidupan
saya selanjutnya. Tidak hanya belajar, saya juga mengimbangi ibadah dengan
rajin solat, mengaji, tahajud, dan mengurangi maksiat.
Tes SBMPTN saya jalani di SMP 1
Semarang, dari pukul 7.30 sampai 14.30 WIB. Betapa capeknya.
Sebulan saya menanti dengan
perasaan berdebar. Takut. Cemas. Gelisah. Tetap, harapan penuh adalah UGM.
Namun hasilnya saya pasrahkan pada Allah. Saya minta yang terbaik, yang paling
cocok dengan saya, itu saja.
Hari-H pun tiba. Hasilnya..
Saya diberi ucapan selamat karena
lolos Pendidikan Bahasa Inggris UNNES.
Kecewa, jelas. Sedih, sangat.
Untuk kali keduanya saya ditolak UGM. Iya, dari awal memang saya tahu, pilihan
yang saya ambil mungkin terlalu tinggi. Tapi saya juga bukan ababil yang
berpikir untuk masuk jurusan asal-asalan yang penting bisa kuliah di UGM.
Setelah itu, muncul masalah lain.
Di sini saya punya 2 pilihan. Politeknik atau UNNES. Komputerisasi Akuntansi
atau Pendidikan Bahasa Inggris. Saya bingung, karena dua-duanya bagus. Lalu,
setelah melalui pemikiran panjang dan diskusi dengan banyak pihak, akhirnya
pilihan saya jatuh pada UNNES.
Sekarang, rangkaian kegiatan PPA
(Program Pengenalan Akademik) UNNES telah saya ikuti (19-21 Agustus 2014).
Begitu juga dengan OKPT (Orientasi Kepramukaan Perguruan Tinggi) UNNES (22-23
Agustus 2014) dan English Rendezvous (24 Agustus 2014). Sangat berat rasanya melakukan
sesuatu yang tidak belum kita cintai. Tetapi, bagaimanapun juga, saya harus
bisa membawa diri dengan baik di UNNES, meskipun hati saya ada di tempat lain. Pokoknya
jangan sampai itu menjadi penghalang untuk berprestasi dan berkreasi.
Allah telah menunjukkan bahwa
UNNES adalah ’jodoh’ saya. Jadi, mulai saat ini, saya akan berusaha move on
dari UGM dan mencintai UNNES dengan sepenuh hati. Bismillah..
(Tulisan selanjutnya akan berisi
tentang seperti apa UNNES dan kenapa saya harus bersyukur diterima di
universitas konservasi tersebut. Dengan maksud menghindari kesalahpahaman
karena di postingan ini saya terkesan menomorduakan UNNES. Maaf yaa ^^ )
0 comments:
Post a Comment